Sebagai APA di BUMN ini tentu saja tidak bisa lagi menganut faham tekab, tetapi selalu hadir pada setiap jam kerja yang agak fleksibel. Fleksibel di sini artinya tidak mesti datang sebagaimana jam kerja kantor pada umumnya yakni from eight to four atau from nine to five, tapi bisa saja hadir mulai tengah hari sampai malam, pagi sampai sore dan sebagainya karena memang pada hakekatnya selama sebuah apotek melaksanakan kegiatan operasionalnya, maka selama itu pula tanggung jawab seorang apoteker. Setelah resign dari tempat kedua karena suatu alasan, saat ini teman saya mengabdikan diri sebagai salah seorang staf pengajar di program studi Farmasi pada salah satu Universitas Negeri di Jakarta ?
Saya kembali pada pertanyaan
di atas “ kenapa profesi apoteker/ farmasis belum eksis juga di
Indonesia ?”. Barang kali pertanyaan yang timbul dalam benak saya ini
tidak sepenuhnya benar. Mungkin banyak rekan-rekan apoteker yang
nantinya memiliki penilaian yang jauh berbeda dengan saya. Menurut saya
hal itu sah-sah saya. A difference is a beutiful thing begitu kata pepatah lama. Rambut boleh sama hitam tapi pemikiran bisa saja berbeda,
kata pepatah yang lain. Sehingga saya akan dengan terbuka menerima
perbedaan-perbedaan tersebut dan sangat berharap masukan-masukan dari
siapa saja dalam upaya memperkaya khasanah berfikir.
Menurut saya yang disebut
dengan profesi adalah apabila orang yang menyandang profesi tersebut
dapat memberikan pelayanan/ manfaat kepada masyarakat di sekelilingnya
secara langsung. Beberapa contoh profesi dalam memberikan layanan
profesinya tersebut sebagai berikut : dokter memberikan pelayanan secara
langsung kepada pasien berupa diagnosa penyakit dan terapi; Guru/ dosen
memberikan pengajaran dan bimbingan kepada murid/ mahasiswanya;
Pengacara secara langsung membela kliennya,; Perawat memberikan
perawatan dengan tangannya kepada pasien. Masih banyak contoh lain yang
tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Bagaimana dengan profesi apoteker? Apakah Apoteker Indonesia sudah terlibat langsung dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kompetensi yang
dimilikinya ? Apakah apoteker Indonesia sudah memberikan konstribusi
yang sama dengan beberapa contoh profesi yang saya sebutkan di atas ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, saya mencoba
mengelompokkan beberapa bidang kerja yang digeluti oleh apoteker
Indonesia sebagai berikut :
Rumah sakit merupakan salah satu tempat
utama dimana seorang apoteker seharusnya melakukan praktek profesinya.
Di rumah sakit banyak terdapat pasien yang sedang mengkonsumsi obat. Dan
profesi yang paling banyak mengetahui tentang obat adalah apoteker.
Obat bukanlah bahan yang sepenuhnya aman untuk dikonsumsi. Banyak
laporan yang menyebutkan bahwa kejadian Adverse Drug Reaction/ADR
( Reaksi obat yang tidak diinginkan ) di rumah sakit cukup banyak..
Hal-hal seperti ini seharusnya dapat dicegah dengan adanya konstribusi
dari apoteker.
Menurut saya profesi apoteker di rumah
sakit belum eksis. Salah seorang apoteker yang saya kenal dengan baik,
hampir selama tujuh tahun bersolo karir sebagai apoteker di sebuah
rumah sakit swasta tipe C. Kesehariannya hanya berkutat dengan urusan
manajemen obat seperti masalah pengadaan, pengorganisasian staf, dan
tentunya beberapa kegiatan rapat dengan manajemen rumah sakit yang
kesemua aktifitasnya tersebut tidak berhubungan langsung dengan pasien.
Dari apoteker kenalan saya ini saya dapatkan informasi bahwa kondisi
yang sama juga terjadi pada apoteker koleganya yang bekerja pada rumah
sakit lainnya. Begitu juga dengan apa yang saya lihat langsung di
beberapa rumah sakit pada beberapa kesempatan. Untuk rumah sakit sebesar
RSCM, menurut perkiraan saya hanya memiliki apoteker kurang dari 30
orang.
Apotek merupakan lahan pekerjaan yang
paling banyak menampung apoteker. Mungkin karena jumlahnya paling
banyak, maka menurut saya konstribusi apoteker yang bekerja di tempat
ini sangat besar terhadap tidak eksisnya profesi apoteker di Indonesia.
Bagaimana mau eksis, jika sebagian besar apotekernya banyak yang
menganut paham tekab tadi. Saya belum memiliki data pasti tentang berapa
persen apoteker tekab saat ini, barang kali pada suatu kesempatan nanti
saya akan melakukan penelitian/ survey tersendiri. Tapi menurut
perkiraan saya persentasenya lebih dari 80%.
Banyak dari sejawat apoteker yang
menjadikan profesi APA sebagai side job di samping pekerjaan utamanya
seperti PNS atau lain sebagainya. Celakanya lagi ada pula apoteker yang
bekerja di POM baik pusat maupun wilayah yang menempuh cara ini. Padahal
merekalah yang seharusnya memberikan contoh agar jumlah apoteker tekab
ini dapat diminimalisir. Beberapa alasan yang pernah saya ketahui
kenapa sejawat apoteker melakukan ini adalah : PSA tidak bisa memberikan
gaji yang memuaskan, atau sayang kalau ijazah apoteker tidak
dimanfaatkan untuk mendatangkan uang.
Pada suatu kesempatan saya hadir di
sebuah seminar yang salah satu pembicaranya adalah ketua yayasan lembaga
konsumen kesehatan indonesia. Dia mengatakan bahwa Apoteker merupakan
profesi yang tidak bertanggung jawab. Pada awalnya saya agak tersinggung
juga mendengarnya ( selama saya menjadi APA di tempat kerja kedua, saya
selalu hadir di apotek ), tapi setelah saya renungkan sejenak, saya
dapat menerima ucapannya tersebut dan cenderung membenarkannya.
Apabila apoteker hanya datang ke apotek
sekali atau beberapa kali sebulan, bagaimana dia bisa memberikan
pelayanan profesi kepada masyarakat yang menebus obat di tempat yang
menjadi tanggung jawabnya. Banyak penelitian yang menemukan bahwa jumlah
orang yang masuk dan dirawat di rumah sakit disebabkan oleh obat
tidaklah sedikit. Ini artinya kejadian ADR tersebut berlangsung selama
pasien berada di luar rumah sakit yang merupakan domainnya apoteker farmasi komunitas/ apotek. Banyak sebetulnya yang bisa dilakukan oleh
apoteker farmasi komunitas dalam menjalankan profesinya agar bermanfaat
bagi masyarakat. Posisi APA sampai saat ini masih ada sebetulnya karena
masih dilindungi oleh Undang-Undang yang mewajibkan Apotek mempekerjakan
seorang Apoteker penanggung jawab. Dalam kondisi yang berlangsung saat
ini, tanpa Apotekerpun sebetulnya apotek bisa beroperasi karena
konstribusi apotekernya dipertanyakan.
Saya tidak bisa memberikan komentar
banyak tentang ini. Tapi sebagian dari apoteker yang bekerja di bagian
ini saya yakin banyak juga yang menjadi APA. Sehingga tentu saja mereka
juga ikut memberikan pengaruh terhadap belum eksisnya profesi apoteker
di Indonesia.
Dengan sistem pendidikan farmasi yang
masih dianut oleh Indonesia dan peraturan pemerintah yang mewajibkan
Apoteker sebagai supervisor produksi, maka Apoteker yang bekerja di
sektor ini menurut hemat saya patut dihargai. Begitu juga dengan sejawat
apoteker yang bekerja di bagian formulasi, R & D yang banyak
menghabiskan waktunya untuk menjalankan tugas-tugas nya yang memang
berkaitan erat dengan farmasi. Tapi apabila ada juga sejawat yang nyambi
menjadi APA yang sudah dapat dipastikan mereka akan sangat jarang ada
di apotek, maka sejawat yang melakukan ini juga punya andil dalam
menyebabkan belum eksisnya profesi apoteker di Indonesia.
Untuk sejawat yang bekerja di dunia
pendidikan dibebani tanggung jawab yang lebih besar lagi. Tanggung jawab
untuk mencetak apoteker-apoteker berkualitas sehingga dapat menjadi profesi yang diperhitungkan dan mengambil peran penting dalam dunia
kesehatan. Sama dengan sejawat yang bekerja di Industri, apabila bapak
dan ibu dosen juga menjadi APA dengan sistem tekab, maka mereka juga
punya sumbangsih dalam menyebabkan belum eksisnya profesi apoteker di
Indonesia
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih Telah Berbagi & God Bless